Halaman

Minggu, 01 November 2015

Ketika Sudah Meraih Mimpi, Lalu Apa Lagi?

Siapa yang merasa tidak beruntung, jika memimpikan suatu hal sejak lama dan akhirnya bisa diwujudkan.
And I can say that I'm that lucky person.

Sejak saya duduk di bangku SMP, saya sudah bermimpi suatu saat bisa menjadi seorang jurnalis. Bayangan saya kala itu, menjadi seorang jurnalis bisa mendapatkan kesempatan jalan-jalan gratis. Sederhana, khas impian anak SMP.

Tak disangka, 11 tahun kemudian saya berhasil mewujudkan impian saya tersebut. Ya, kini saya sedang menggeluti pekerjaan sebagai seorang jurnalis di sebuah koran lokal di Yogyakarta. Saya resmi menjadi jurnalis tepatnya dua tahun lalu.

Senang? Tentu saja! Lagi-lagi siapa yang tak bahagia impiannya sejak kecil akhirnya terwujud. Apalagi sepanjang perjalanan saya sebelum menjadi jurnalis, saya melakukan banyak upaya agar suatu saat saya bisa mewujudkannya. Mulai dari aktif di ekskul jurnalistik saat SMA, terjun di dunia pers mahasiswa saat kuliah, dan mencoba menggali kesempatan mengikuti berbagai lomba menulis. Semua sudah saya lakukan. Ketika saya akhirnya menjadi jurnalis dan mendapat kartu pers yang resmi, saya berjingkrak kegirangan.

Kini sudah tepat dua tahun saya berkecimpung di dunia jurnalistik. Dunia yang ternyata tak seindah mimpi saya zaman SMP dulu. Impian saya untuk bisa jalan-jalan gratis ke berbagai tempat memang akhirnya bisa terwujud. Namun tak dinyana banyak hal lain yang akhirnya membuka mata saya.

Selama belasan tahun saya mati-matian belajar tentang jurnalistik, tentunya secara otodidak karena saya gagal masuk kuliah jurusan jurnalistik. Mencoba memahami apa itu kode etik jurnalistik, bagaiman menulis berita yang baik, dan sebagai macamnya.

Namun di zaman saat saya sudah menjadi seorang jurnalis, justru semakin banyak pemberitaan yang muncul tanpa mengindahkan kode etik jurnalistik. Unsur sadisme banyak ditonjolkan, hanya demi page view semata. Tanpa memikirkan sisi objek berita yang sedang diberitakan. Lalu kemana ilmu-ilmu jurnalistik yang selama ini saya pelajari mati-matian.

Itu belum seberapa, kantor media yang seharusnya indipenden harus rela berkompromi dengan pemodal yang selama ini menopang keberlangsungan hidup para karyawannya, termasuk saya.

Di Yogyakarta sedang ramai diberitakan sebuah pengelola hotel yang merobohkan bangunan cagar budaya demi membangun hotel baru di kawasan tersebut. Sayangnya, pengelola hotel tersebut merupakan bagian dari pemodal tempat kantor media saya bekerja. Pernah sesekali saya menulis berita tentang hotel tersebut dan membagi protes yang dibuat oleh beberapa aktivis, tanggapan yang saya dapat hanya sekenanya.

Berbeda ketika saya menulis tentang kasus lain yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan nama baik perusahaan. Saya pun diminta, bahkan dikejar-kejar untuk menulis kasus tersebut secara lengkap. Well, tapi saya bisa apa? Lagi-lagi idealisme terbentur dengan realita.

Pengalaman lain yang menohok saya adalah ketika kantor media tempat saya bekerja bekerja sama dalam bentuk iklan dengan pengelola apartemen di wilayah Sleman. Mereka membangun sebuah apartemen di salah satu lokasi yang sangat terkenal di Sleman, namun pembangunan tersebut mendapat penolakan keras dari penduduk sekitar.

Sesuai syarat administrasi perizinan pendirian bangunan, seharusnya pihak pengembang tak bisa mendirikan apartemen tersebut. Karena salah satu syarat perizinan bisa keluar adalah adanya kesepakatan dengan penduduk sekitar tempat pembangunan. Jika penduduk sekitar saja tak sepakat, bagaimana bisa mereka bisa tetap membangun?

Kawan saya, jurnalis yang ditugaskan di wilayah Sleman pernah menulis tentang permasalahan pelik ini. Ia menggambarkan bagaimana masyarakat menolak keras pendirian apartemen tersebut. Beritanya pun keluar dengan judul headline.

Lalu apa yang terjadi setelah itu? Pihak pengembang apartemen datang ke kantor media saya dengan membawa penawaran pemasangan iklan puluhan juta. Orang marketing mana yang tidak tergiur dengan tawaran semacam itu.

Singkat cerita mereka memasang iklan di koran saya, satu halaman berwarna. Saat itu saya masih ditugaskan mengerjakan halaman ekonomi bisnis. Sehingga bertugas membuat berita iklan tentang mereka. Karena ini merupakan sebuah berita iklan, maka tentu saja apa yang saya tulis harus sesuai keinginan klien.

Tulisan saya pun keluar, layaknya berita saya lainnya. Tanpa embel-embel jika berita yang saya tulis tersebut merupakan berita iklan. Saya pun jadi sasaran empuk para aktivis yang selama ini membantu masyarakat sekitar menolak keberadaan apartemen tersebut. Saya dianggap mendukung kapitalisme dengan menulis berita semacam itu.

Pengalaman tersebut menjadi titik balik selama saja menjadi jurnalis. Saya kembali diingatkan untuk berpikir sebenarnya apa tujuan saya menjadi seorang jurnalis.

Lagi-lagi saya dibenturkan oleh kenyataan bahwa menjadi jurnalis tak seindah yang saya bayangkan saat saya masih duduk di bangku SMP atau tak seidealisme yang saya rasakan saat saya aktif di pers mahasiswa

Saya tak menutup mata, kejadian seperti ini tak hanya terjadi di kantor media tempat saya bekerja. Keberpihakan terjadi di hampir semua media mainstream di Indonesia. Tapi buat apa saya menghujat kantor media lain, kalau kantor media tempat saya bekerja secara tak langsung melakukan hal yang sama pula. Buat apa menghujat orang lain, jika kita tidak bisa melihat kesalahan dalam diri kita sendiri?

Pertanyaan ini pun harus muncul. Ketika sudah meraih mimpi, lalu apa lagi? Ketika saya sudah meraih mimpi saya sebagai seorang jurnalis, lalu apa lagi yang harus saya lakukan ketika dihadapkan pada hal-hal yang ternyata bertentangan dengan idealisme saya?

Saya mencintai pekerjaan saya. Namun saya juga berpikir untuk membuka dan mencari peluang baru. Bukan karena saya tidak lagi tertarik dengan dunia jurnalistik, namun saya berpikir untuk mencintainya dengan cara lain.

Love your job, not your company. Because you will never know when company stops loving you....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar